JAKARTA – Sidang pembacaan pembelaan (pleidoi) terdakwa Dispendagate Jilid II Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M. Najamudin, berlangung kemarin (26/4), di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada. Menariknya usai membacakan pleidoinya selama 48 menit, Agusrin malah kena sentil Ketua Majelis Hakim Syarifuddin karena pembelaan yang dibacakan mirip “curhat”.
“Seharusnya pembacaan pembelaan itu isinya berdasarkan kajian yuridis. Bukannya malah seperti pleidoi pribadi. Karena di sini memang bukan tempatnya membacakan laporan pertangungjawaban Gubernur. Tapi dimaklumi, terdakwa bukan sarjana hukum tapi Gubernur,” tegas Syarifuddin, di ruang sidang.
Sebelum pleidoi dibacakan, Syarifuddin didampingi hakim anggota Sunardi dan Kartin mengingatkan agar nantinya lampiran dan bukti tambahan dari kubu terdakwa yang diserahkan pada hakim harus sesuai dengan fakta tanpa rekayasa. “Kalau bukti foto, bisa saja direkayasa kepalanya ditukar dengan orang lain,” imbuh Syarifuddin.
Pada pembacaan pembelaan, ada dua pleidoi yang dibacakan di persidangan yakni pleidoi yang dibacakan Agusrin dan pleidoi yang dibacakan tim Penasihat Hukum (PH). Sidang tersebut sempat molor hingga dua jam dari jadwal dan baru mulai pukul 11.00 WIB, karena sebelumnya majelis hakim memimpin persidangan perkara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Isi pembelaan yang disampaikan Agusrin, tidak jauh berbeda dengan yang pernah ia kemukakan pada sidang pemeriksaan terdakwa sebelumnya. Hanya saja kali ini di hadapan hakim Agusrin menuding kasus Dispendagate senilai Rp 21,3 miliar bergulir karena ulah lawan politik. Hal itu dilakukan untuk menjegal dirinya mencalonkan kembali kedua kalinya pada Pilkada Gubernur 2010 lalu.
“Saya dengar sendiri informasi yang beredar di masyarakat ada yang mengatakan yang penting Agusrin tersangka dulu. Begitu ditetapkan tersangka dan ada beritanya di koran, beredar ratusan ribu kopian kertas ke desa-desa. Sungguh sedih saya mengetahui hal itu pak hakim. Itu semua fitnah,” tutur Agusrin, tanpa menyebut siapa lawan politik yang dimaksud.
Agusrin secara terang-terangan menuding Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan rekayasa di persidangan, dengan menuntut dirinya hingga 4,5 tahun negara. Menurut Agusrin, pada persidangan sebelumnya JPU sendiri sudah melontarkan bahwa tidak ada uang negara yang hilang karena sudah dikembalikan secara bertahap ke kas negara.
“Syukur alhamdulillah JPU sendiri yang mengakui tidak ada uang negara yang hilang. Terima kasih JPU karena telah mengakui kebenaran. Coba kalau dari dulu fakta itu yang disampaikan. Pasti saya tidak akan diadili seperti ini,” kata Agusrin, dengan nada yang mirip sindiran.
Dalam pembelaannya, dia menolak dikatakan berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan, baik saat diperiksa penyidik maupun saat di persidangan. Agusrin mengatakan, dirinya hanya menjelaskan secara komprehensif mengenai kronologis uang negara yang disebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI merugikan negara mencapai Rp 20,1 miliar.
“Kami sungguh tidak terima yang mulia dikatakan berbelit-belit memberikan keterangan. Kami tidak tahu kenapa dituduh demikian. Padahal kami hanya menjelaskan semuanya. Kenapa malah dianggap memberatkan,” ucap Agusrin.
Dia menambahkan, dirinya sama sekali tidak tahu-menahu ada kasus Dispendagate justru dari media. Berita itu pun sudah dikonfrontir langsung kepada mantan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Provinis Drs. Chairuddin. Terutama terkait sejumlah uang yang diserahkan pada Fikri untuk memberikan mesin pengolah sawit.
“Kami baru tahu kasus ini dari koran. Kami juga tidak terima tuduhan JPU bahwa kami menerima travel check dari Chairuddin senilai Rp 1 miliar. Keterangan ini juga dibenarkan Chairuddin di atas surat keterangan bermaterai enam ribu. Lalu kenapa masih dituduhkan ke saya,” tandas Agusrin.
Di hadapan hakim, Agusrin juga membantah dirinya sering mengeluh masalah keuangan pada Chairuddin. Dia menegaskan, sebelum menjadi gubernur dirinya adalah pengusaha. “Maaf seribu maaf Pak Hakim, kami harus menyampaikan hal ini. Tapi sebelum jadi gubernur kami tak pernah kesulitan biaya hidup dan sekolah anak. Kami punya industri tabung gas dan perusahaan swasta nasional yang bergerak di importir bahan peledak tambang dan importir senjata legal,” tambah dia, dengan terbatuk-batuk.
Kasus korupsi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi Bangunan (PBB) Bea Perolehan Hasil Tanah Bangunan (BPHTB), dikatakan Agusrin bukan hanya berdampak pada dirinya. Tapi juga berdampak pada anak kandung dan anak asuhnya di Yayasan Nurani Najamuddin.
“Anak saya dan anak asuh saya yang jumlahnya ratusan semua ikut malu Pak Hakim, karena bapaknya dituduhkan korupsi uang negara Rp 20 miliar. Mereka sampai malu sekolah. Coba kalau dulu JPU tidak memeriksa sepenggal-pengal, mungkin kejadian ini tidak sampai terjadi,” curhat Agusrin.
Isi pleidoinya juga berkaitan dengan tanda tangan yang dipalsukan Chairuddin, pada surat yang dikriimkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Surat permohonan itu untuk pembukaan rekening baru di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Bengkulu.
“Sudah ada putusan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Bengkulu bahwa tanda tangan saya dipalsukan oleh Chairuddin Pak Hakim. Sehingga tidak beralasan kalau menjadi bukti di persidangan. Sebelum pembacaan pleidoi dilanjutkan PH-nya, Agusrin bukan hanya menyerahkan materi pembelaannya saja pada hakim.
Tapi juga rekaman yang termuat dalam bentuk DVD. Ketika tumpukan kotak DVD itu diserahkan pada hakim Syarifuddin, dia meminta agar salinan rekaman juga diserahkn pada jaksa. “Biar jaksanya teliti lagi,” ujar Syarifuddin.
Diskor 1 Jam
Sementara itu, sidang pembacaan dakwaan berakhir sekitar pukul 16.30 WIB. Itu karena selain pembukaan sidang sempat molor dua jam, skorsing 1 jam yang ditetapkan hakim juga molor hingga pukul 13.34 WIB. Tak pelak itu membuat hadirin sidang terkantuk-kantuk.
Saat giliran tim kuasa hukum membacakan materi pleidoi yang tebalnya lebih dari dua ratus halaman itu, majelis hakim pun sempat beberapa kali menegur agar pembacaan pleidoi dipercepat. “Membacanya nggak perlu pakai intonasi-intonasi. Dipercepat saja membacanya. Masih banyak perkara lain yang harus diselesaikan. Bukan cuma perkara ini saja,” tegur Syarifuddin.
Usai mendengarkan pleidoi, majelis hakim memutuskan sidang lanjutan pembacaan replik jaksa akan digelar pada Selasa, 10 Mei mendatang, atau diundur satu minggu. Alasannya JPU tidak bisa mengikuti sidang karena harus menghadiri pertemuan jaksa se-Indonesia. Begitupun dengan hakim yang memiliki agenda pertemuan.
JPU sendiri hanya tiga orang yang hadir, yakni Hilman Azazi, Zuhandi dan Alamsyah. Sementara Yeni Puspita absen dan Sunarta kini dimutasi menjadi Kajari Palembang.
PH Agusrin, Marten Pongrekun mengatakan, setelah pembacaan replik oleh JPU, tim kuasa hukum menyanggupi pembacaan duplik dilakukan dua hari setelahnya, yakni 12 Mei. “Setelah itu tinggal menunggu putusan hakim saja,” pungkas Marten usai sidang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar